Menjawab kerisauan perihal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang tak kunjung menerima titik terang, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro (BEM FISIP Undip) berinisiatif mengadakan Fisipolychrome bertajuk “RUU PKS: Kawal Jangan Jegal” pada Sabtu (26/6).
Diskusi virtual yang diselenggarakan pada platform Microsoft Teams ini mengundang slot kakek tua tiga pembicara, yaitu Tiasri Wiandani selaku komisioner KOMNAS perempuan, Lidwina Inge Nurtjahyo selaku Dosen Fakultas Undang-undang Universitas Indonesia, serta Sri Wiyanti Eddyono selaku Dosen Fakultas Undang-undang Universitas Gadjah Mada.
Lidwina mengatakan bahwa RUU PKS memiliki urgensi untuk dapat lantas dilegalkan sebab RUU ini mengakomodir melanggar hukum berkaitan kekerasan seksual secara spesifik dan menyeluruh.
“RUU PKS akan mengakomodir bentuk kekerasan seksual yang tidak terakomodir dalam Kitab Undang-Undang Undang-undang Pidana (KUHP). Fenomena yang ada pada masyarakat berkembang lebih kencang dari hukum itu sendiri sehingga KUHP tidak dapat mengakomodir lagi. Kita perlu undang-undang yang lebih spesialis,” jelasnya.
Walaupun RUU PKS terbilang darurat, kenyataannya sampai saat ini, RUU hal yang demikian belum dilegalkan. Lidwina berpendapat bahwa budaya literasi masyarakat Indonesia yang rendah menjadi salah satu elemen penghambat disahkannya RUU PKS.
Ia menyayangkan adanya mispersepsi yang beredar di masyarakat dengan mengatakan bahwa tindakan ilegal, seperti seks bebas serta aborsi akan dilegalkan sebagai akibat dari pengesahan RUU PKS ini. Lidwina mau bahwa masyarakat dapat lebih akurat dalam membaca naskah autentik dari RUU PKS sehingga tidak menimbulkan adanya mispersepsi yang berakibat pada tekanan yang tinggi dalam menghalangi pengesahan RUU PKS.
“Orang-orang acap kali kali kali memperoleh pengetahuan dari mendengar dan menonton. Sekiranya kontennya gak tepat, mereka malas untuk konfirmasi dengan membaca. Kabar terjadi dengan RUU PKS seperti itu. Akibatnya berkaitan dengan konten RUU Pungkas lebih gencar disiarkan dan hal itu dianggap melegalisasi seks bebas serta aborsi. Mereka malas membaca naskah aslinya,” terangnya.
RUU PKS yang tak kunjung dilegalkan menimbulkan kerisauan dari berjenis-tipe pihak, lebih-lebih penyintas kasus kekerasan seksual. Jikalau, mereka hanya dapat mengandalkan media sosial sebagai wadah untuk speak up dari kasus traumatis yang mereka alami.
“Dalam speak up ke media sosial, Kronologi kejadian menjadi hal yang penting slot garansi 100 untuk dipersembahkan. Jadi orang-orang akan aware,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Lidwina mengatakan bahwa jangan sampai kronologi dipersembahkan tanpa adanya bukti yang jelas karena hal ini akan berakibat pada penuntutan UU ITE atas pencemaran nama baik.
“UU ITE ini memang seperti pedang bermata dua, Sekiranya kita posting sesuatu secara gak hati-hati, kita bisa kena karena dianggap mencemarkan nama baik, tapi apabila pelaku melanggar hukum seksual dalam kajian porn revenge berani sebar-sebar, hajar aja. Beberapa pasti bakal kena UU ITE juga,” lanjutnya.
Lidwina mengenalkan adanya asas rights to be forgotten sebagai pasal yang digunakan oleh beberapa negara dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Asas ini memungkinkan bagi pengguna dunia online untuk mencabut postingan yang tidak menyenangkan bagi mereka dari berjenis-tipe platform.
“Asas rights to be forgotten memungkinkan platform seperti Google dan Facebook, atas perintah pengadilan, akan menarik konten tak menyenangkan sehingga tidak akan bisa ditelusuri lagi. Bahkan negara sudah mengaplikasikan ini. Sayangnya, di Indonesia belum. UU ITE saja masih dalam perspektif penghukuman, bukan perlindungan,” jelasnya.
Dalam meminimalisasi kasus kekerasan seksual, Lidwina menekankan bahwa edukasi mengenai kekerasan seksual penting untuk dijalankan sejak dini. Tetapi, ia setuju jika edukasi ini dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Tak, ia lebih memprioritaskan pada klausul metode pengajaran yang dapat menjadi hal preventif bagi kasus melanggar hukum seksual di lingkungan akademik.
“Persoalan usah muluk-muluk dulu. Gini aja, dikala kita merekrut dosen umpamanya, perlu ada klausul bahwa dikala melakukan pengajaran, dosen jangan sampai melakukan tindakan yang membuat mahasiswa tidak nyaman. Jikalau seperti itu saja dulu. Dalam evaluasi pengajaran juga semacam itu. Sekiranya soal kurikulum, mungkin nanti saja,” ujar Lidwina.
Lidwina mengusulkan bahwa kampus dapat merangkul instansi tertentu, seperti slot bet kecil bidang pemberdayaan perempuan atau pusat kajian gender dalam memproses kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan akademik.
“Sekiranya mengubah kurikulum, takutnya teman-teman dari rumpun sains dan matematika akan merasa tidak ada korelasi antara berita ini dengan ilmu yang mereka pelajari. , it’s a good idea kok untuk dimasukkan ke kurikulum,” tutupnya.